Penyusunan Anticipatory Action Framework (AAF) di Desa Wowong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata dilanjutkan dengan kegiatan FGD dan konsultasi publik oleh tim PSBA UGM-PLAN Indonesia. Kegiatan dilakukan di Desa Wowong pada Minggu (20/8) hingga Selasa (22/8) serta konsutasi publik pada Rabu (23/8) di Lewoleba. Dalam pengembangan penyusunan kerangka aksi antisipatif, diperlukan bantuan masyarakat dalam mengonfirmasi hasil kajian ilmiah, bagian-bagian yang akan berimplikasi pada kategori trigger dan threshold, serta kategori aksi berdasarkan fase emergency response. Tim melakukan konfirmasi melalui FGD mengenai informasi peristiwa, dampak, dan tindakan di masa lalu, dengan pemangku kepentingan di tingkat desa (pemerintah desa, tokoh masyarakat, Linmas, dan TSBD). Tim juga melakukan presentasi hasil temuan penyebab banjir, baik dari sisi geomorfologi maupun hidrologi. Masyarakat juga membantu tim dalam mengonfirmasi dan memberikan masukan serta berbagi data mengenai perencanaan desa di bidang sektoral seperti mata pencaharian, pendidikan, WASH, dan shelter, termasuk yang berkaitan dengan perencanaan kabupaten atau provinsi. Demikian halnya termasuk kebijakannya jika tersedia atau sedang berjalan.
Sistem peringatan dini bukan sebatas penyebaran informasi, namun efektivitasnya harus didukung oleh pemahaman masyarakat akan risiko bencana yang dihadapi. PSBA UGM-Plan Indonesia melakukan instalasi sistem peringatan dini di Desa Wowong berupa empat buah penakar hujan manual serta tiga buah papan duga air. Pemasangan alat tersebut disertai pelatihan penggunaannya agar masyarakat lebih mengenali hujan serta karakteristik pemicu kejadian bencana. Tanggungjawab mengenai pencatatan data hujan ditugaskan kepada anggota tim aksi antisipasi bencana yang telah dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Tim aksi antisipasi terdiri dari pemerintah desa, TSBD, Linmas, Kepala Dusun, dan Ketua RT.
Demikian halnya, menginformasikan tempat berlindung yang aman kepada masyarakat adalah hal penting, begitu pula dengan membangun tempat aman tersebut. Tim juga berupaya berdiskusi mengenai konsep evakuasi agar disepakati di antaranya konsep lewokakan lewoariq atau desa bersaudara yang disebut ebenero. Usulan mengenai pembangunan tempat evakuasi yang difungsikan sebagai gedung serbaguna menjadi salah satu masukan dalam konsultasi publik.
“Bahwa memang ada banyak hal yang perlu dipersiapkan salah satunya menyiapkan tempat yang aman dan nyaman, Pemda Kabupaten Lembata dan PLAN kan sudah membuat rencana kontingensi untuk erupsi Gunung Lewotolok yang sampai saat ini sudah sampai pada rencana operasional, mungkin bisa mengadopsi seperti itu, desa kakan arin, seperti sister village, jadi teman-teman atau keluarga di kecamatan-kecamatan di Ili Ape ketika erupsi maka sebagai desa arin akan bergeser ke desa kakan di Kecamatan Lebatukan. Dengan keterbatasan kita, konsep tersebut bisa diadopsi di Desa Wowong, sejarahnya kan Desa Wowong adalah desa arin dari desa sekitar karena dulunya disitu kebun dari warga di desa lain. Kalau tidak, desa bisa menentukan sendiri desa yang lebih mudah koneksinya kemana untuk jadi desa kakannya”, kata Erlina Dangu selaku Program Implementasi Area Manager, Yayasan Plan Internasional Indonesia Kabupaten Lembata.
“Kalau semisal sister village bisa dikembangkan, bisa dalam situasi yang berbeda, jadi tidak saklek bahwa Desa Wowong harus pindah dari Bukit Cinta ke desa lain, mungkin ngga begitu prosesnya, jadi konsepnya bisa luas kalau memang jalur ke desa kakak tidak bisa diakses oleh desa lain, otomatis teman-teman atau warga ke Bukit Cinta pun akan terisolir, jadi mekanisme sister village itu dibangun bahwa ada kakak dari desa lain yang tidak mengalami bencana membantu masyarakat yang di Bukit Cinta, bisa bertahan 1-2 hari tetapi kalau banjirnya besar, itu tidak akan bertahan tanpa ada bantuan resources dari luar, untuk makanan aja, untuk air bersih aja,” ujar Ida Ngurah, selaku Humanitarian and Resilience Manager Plan Indonesia.
Selanjutnya, konsep lewokakan dan lewoariq akan coba diadopsi menjadi salah satu aksi antisipasi bencana guna mengurangi risiko bencana. Dalam rencana aksi antisipatif dan aktivasi tindakan berdasarkan peringatan dini melalui monitoring secara sistematis, perlu didukung oleh pemahaman masyarakat serta cara evakuasi secara mandiri. Dalam praktiknya, tidak semua masyarakat paham dengan peringatan dini, sehingga sebaiknya ada integrasi sistem informasi serta penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana melalui berbagai sosialisasi, beserta TTX ataupun pelatihan simulasi bencana.
Penulis: Ratih Winastuti