Analisis Gempabumi Pacitan, 22 Juni 2020 (PSBA UGM)
(Dr. Gayatri Indah Marliyani, Dosen dan peneliti di Departemen Teknik Geologi UGM
Staf Ahli di Pusat Studi Bencana UGM)
Dini hari tadi (22 Juni 2020, pukul 2:33 WIB) telah terjadi gempa bumi di selatan Pacitan dengan besaran magnitudo M5 dan kedalaman 63km (BMKG). Gempa ini cukup keras dirasakan oleh masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya, membangunkan penduduk yang sedang tertidur lelap. Skala MMI II-III dirasakan oleh penduduk hingga di Tulungagung, Nganjuk dan Banjarnegara. Saya sendiri cukup kaget dan merasakan goncangan yang cukup keras dengan arah rambatan gelombang gempa dari arah selatan. Dilihat dari lokasi dan kedalamannya, gempa ini bersumber dari dalam lempeng yang menunjam, masih menjadi bagian dari sistem subduksi di selatan Jawa. Istilah geologi nya disebut sebagai gempa intraslab. Dilihat dari mekanismenya, gempa tadi pagi memiliki pergerakan turun, yang terjadi akibat respon batuan terhadap gaya tarikan lempeng samudera ke bawah. Tipe gempa seperti ini biasanya dapat dirasakan secara luas. Dikarenakan terjadi cukup dalam, pada daerah bertekanan besar dan bersuhu cukup tinggi, batuan di daerah tersebut bersifat relatif plastis. Artinya, setelah mengalami deformasi, batuan mudah kembali ke posisi awal. Hal ini yang mengakibatkan tidak terjadinya gempa susulan. Gempa dengan tipe seperti ini juga biasanya tidak menyebabkan tsunami karena tidak mengakibatkan perubahan dasar laut secara signifikan.
(bmkg)
Selain gempa bumi tipe intraslab seperti yang terjadi tadi pagi, di selatan PacitanĀ juga sering terjadi gempa akibat sesar sesar naik yang banyak dijumpai pada zona tumbukan lempeng. Gempa-gempa ini biasanya terjadi di daerah yang di dalam istilah geologi disebut sebagai zona prisma akresi dan cekungan muka busur. Jika dilihat dari peta kedalaman bawah laut (batimetri), terlihat bahwa cekungan muka busur ( berupa depresi di lepas pantai) di selatan Pacitan secara drastis menyempit dibandingkan dengan di selatan Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa di selatan Pacitan, ada tekanan yang lebih kuat. Hal ini diakibatkan oleh adanya morfologi tinggian (tonjolan) di dasar laut yang ikut terseret masuk ke zona subduksi di daerah ini, yang bisa diamati dg baik dari data batimetri. Adanya morfologi-morfologi tinggian ini menjadi ‘ganjalan’ dari proses subduksi yang terjadi sehingga menyebabkan pergerakan lempeng menjadi tertahan. Energi yang tertahan ini kemudian dilepaskan melalui sentakan tiba-tiba yg ditandai oleh peristiwa gempa bumi. Seringnya gempa berskala kecil (M5-6) di daerah ini sebenarnya bisa jadi merupakan pertanda baik, bahwa energi yang tertahan dilepaskan secara bertahap. Akan tetapi, untuk mengetahui berapa sebenarnya energi yang masih tersimpan dan yang sudah dilepaskan, harus terus dilakukan penelitian secara seksama dan terus menerus.
Masyarakat dihimbau untuk tidak panik, mengikuti himbauan yang berwenang dan tidak termakan oleh isu-isu menyesatkan dari sumber yang tidak jelas. Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk terus meningkatkan kesadaran bahwa kita tinggal di daerah rawan gempa bumi, sehingga pengetahuan-pengetahuan mengenai kondisi daerah tempat tinggal perlu dipahami dengan baik, untuk mengetahui adanya ancaman bahaya yang mungkin terjadi dan mengantisipasinya.